29 April 2009

RODA KEHIDUPAN



Satu tahun roda kehidupan kita di 2008 sudah berlalu. Saat kehidupan menerima begitu banyak tanya MENGAPA? KENAPA? dari berjuta orang yang tidak puas akan roda hidup yang dipanggulnya karena sesak, airmata, duka dan semua perasaan tidak bahagia lainnya, bukankah kehidupan membalas juga dengan memberi jawab dengan pertanyaan lainnya, LALU APA? BAGAIMANA?

Ada banyak sekali jalan, jika kita mau sedikit lebih peka dengan dengan pertanyaan-pertanyaan itu.


Bukankah jadi satu hal baik jika kita mau membongkar sejuta jawab dengan pertanyaan-pertanyaan balasan tadi?


Karena dari proses penggalian jawaban-jawaban tadi maka kita akan makin didewasakan, kita makin ditumbuhkan dalam kematangan pribadi. Menjadi pribadi-pribadi yang lebih tahan uji! Menjadi pribadi-pribadi yang selalu LEBIH BESAR daripada apapun yang dapat terjadi.


Tapi ironisnya, kita termasuk saya tentunya hanya berfokus pada dua pertanyaan MENGAPA dan KENAPA? Kita hanya fokus pada hal-hal yang mengecilkan kita, kita jarang sekali fokus pada hal-hal yang membesarkan kita. Happy New Year!


(1 Januari 2009)

Sepenggal Percakapan


Tadi pagi, waktu berangkat kerja, gak sengaja ketemu dengan seorang wanita paruh baya, mungkin sekitar 35 tahun-an. Kulitnya cukup bersih, wajahnya oriental. Ia mengenakan pakaian daster warna abu-abu selutut. Di tangannya menenteng plastik hitam cukup besar yang biasa dikenakan orang-orang untuk menampung sampah.


Dia berhenti tepat di depanku yang sedang menunggu mobil untuk berangkat kerja. Cukup jelas aku memperhatikan raut mukanya. Tak ada ekspresi apapun. Lalu ia menunduk dan memungut gelas aqua di dekat kakiku dan memasukkannya ke dalam plastik hitam di gendongannya. Lalu ia berlalu dan terus menunduk sambil memperhatikan sekitarnya. Siapa tahu ada lagi yang bisa dipungutnya.


Lalu aku terdiam, dan hatiku merasakan seseuatu. Entah apa namanya. Belum sempat aku bergumam, aku mendengar percakapan di sebelahku.

”Lagi hamil kayaknya ibu tadi!” seorang wanita di sebelahku berkomentar pada rekan sebelahnya.

” Kasihan ya ! suaminya kemana?Sampai harus jadi pemulung.”

...................................................................................................


Dan rentetan percakapan lainnya. Entahlah. Tapi aku sangat salut pada ibu itu. Yang memilih mengais rejeki dari tangannya sendiri. Tidak bergantung pada belas kasihan orang lain. Ia tidak memilih untuk menjadi pengemis atau penipu.


Kehidupan memang terkadang tidak memberikan semua yang kamu inginkan. Tapi kehidupan memberikan semua yang kamu butuhkan untuk dapat bertahan hidup.

(Pos Polisi Tol Barat, 230708)

Bahasa Cinta Memang Menyatukan Banyak Perbedaan



”Jangan khawatir jika bahasamu tidak dapat dimengerti orang lain, karena bahasa cinta selalu dapat dimengerti”


Ramai sekali teriakan anak-anak di depan rumahku. Mereka bersorak-sorak menyemangati temannya yang sedang berjuang mencapai hadiah –hadiah puncak di lomba panjat pinang tujuh belasan RT-ku.


”Capek banget hari ini” gumamku sambil terus mengayun langkah menerobos keramaian itu. Pandanganku spontan langsung menyapu arena pertandingan panjat pinang itu. Hadiahnya banyak sekali. Tapi entahlah, rasanya aku lebih tertarik untuk segera sampai ke kamar kostku, merebahkan diri di kamarku, membayangkan segayung air dingin membasahi kepalaku...


Sayup-sayup keramaian itu mulai reda, seakan memberi kesempatan untuk istirahat soreku. Baru saja akan kupejamkan mata, tiba-tiba saja aku teringat dengan enam digit angka yang sudah sangat kuhapal 4-2-5-4-5-6-1. Pemilik nomor telepon itu adalah Griya Asih. Seperti namanya Rumah Kasih Sayang, Griya Asih adalah sebuah rumah yang tidak pernah kehabisan cinta untuk anak-anak jalanan berlokasi di daerah Cempaka Putih Jakarta Pusat. Tepatnya di Jalan Murdai 1, Cempaka Putih. Sudah sekitar dua tahun aku sering mengunjungi rumah itu, hanya untuk belajar menjadi seorang kakak dan teman buat mereka saat belajar mengerjakan PR sore hari bersama relawan-relawan lainnya.


“Ada 7 anak baru dari Nias datang. Mereka lucu-lucu dan tidak bisa berbahasa Indonesia.

Jadi, kalo kami bicara ya pake bahasa tarzan, sye, aa, uu, aa, uu he..he....” ujar Kak Sisil, pengurus Griya Asih sambil tertawa.


Aku pun terlarut dalam irama tawanya sambil membayangkan gaya mereka berkomunikasi ala tarzan.


”Mereka suka sekali dipeluk!”ujar Kak Sisil lagi menambahkan.


”Setiap hari di Nias, yang mereka lakukan adalah mencari kayu bakar, yang jaraknya bisa mencapai 12 KM dari rumah mereka, tidak ada angkutan, dan kaki mereka pun harus beradu dengan jalanan berbatu. Jika mereka sudah mendapatkan kayu bakar, barulah mereka akan mendapat makan. Makannya bukan nasi, hanya sagu atau ubi atau jagung. Tapi, jika tidak mendapat kayu bakar, maka seringkali mereka akan dipukuli.Makanya, jika kita peluk mereka dan kita sudah melepaskan pelukan kita, mereka akan balas memeluk. Untuk ukuran anak-anak usia 6-8 tahun, pelukan, perhatian memang punya arti tersendiri untuk mereka yang mungkin jarang sekali dipeluk.”


Miris sekali rasanya aku mendengar Kak Sisil bercerita. Semua ini karena aku begitu jelas merasakan perbedaan kehidupan yang begitu jelas. Baru saja aku pulang dari Jakarta, dari sebuah acara yang kental sekali menampilkan kehidupan metropolis orang-orang kelas atas yang kehidupannya bertolak belakang dengan kehidupan anak-anak itu J


”Lucunya lagi, waktu malam sye, mereka senang sekali waktu ditunjukkin kamar mereka nanti, mereka senang sekali bisa tidur di atas kasur, dengan seprei bersih. Mereka loncat-loncat kegirangan, he.he.... Di kampung, mereka tidur di lantai dengan alas tikar saja. Cukup terkejut lagi, waktu aku suruh mereka tidur, tahu gak mereka jawab apa?


”Gak. Emang apa Kak?” tanyaku penasaran

”Kan, belum gelap Kak. Di kampung kalau belum gelap ya belum boleh tidur!”


Aku tersenyum dan sontak hatiku merasakan seseuatu. Ini hari kemerdekaan Republik Indonesia. Tapi, ternyata suka cita dan teriakan kebahagiaan itu belum milik semua rakyat Indonesia.


Tapi inilah Indonesia, tanah airku tercinta, tapi atas dasar keadaan ini, kita pun tidak bisa hanya diam, menggerutu dan menyalahkan pemerintah. Bangun, bangkit dan berbuat seseuatu untuk mereka itu jauh lebih berarti. Sekecil apapun itu sangat berarti untuk mereka.


(Kost Bunga Harapan, 17-08-08)