29 February 2008

Mengapa Takut Mencinta?



Sumber : Mengapa Takut Mencinta karangan John Powell, SJ

Pada saat saat tertentu kita semua merasa kesepian atau terpencil, seakan-akan ada kekosongan dalam diri yang membuat kita sangat menderita. Kita semua tentu pernah merasa terasing dari orang lain, terpisah dari golongan kita, sendirian dan kesunyian.
Rasa kesepian ini dengan sendirinya mendorong kita memusatkan perhatian kepada diri sendiri. Untuk mengisi kekosongan ini, untuk memenuhi kehausan ini, kita lalu pergi, mencari orang lain yang mau mencintai kita.

Mungkin kita melakukan sesuatu untuk memperoleh cintanya. Dengan tangan yang satu kita memberi tetapi dengan yang lain kita meminta. Dan mungkin kita tertipu karenanya dan menganggap itulah cinta.

Kita menyadari, bahwa kesepian kita hanya dapat diisi oleh cinta orang
lain. Kita tahu, bahwa kita harus merasa dicintai. Tetapi adalah suatu
paradox: "Apabila kita mencari cinta orang lain itu hanya untuk mengisi
kekosongan karena kesepian dalam hati kita belaka, maka kita tidak akan terhibur melainkan semakin merasa kesepian".
Terasa benar kenyataan: "Kamu ini tiada berarti, sebelum seseorang mencintaimu" . Hanya orang yang telah mengalami cinta itu mampu berkembang.

Adalah suatu kenyataan, bahwa dengan memberikan dan dengan menolak memberikan cinta, orang lain sangat mempengaruhi kemampuan kita menjadi seorang dewasa atau tidak. Memang, karena kebutuhan dan kekosongan kebanyakan dari kita menghadapi kehidupan dan orang lain dengan sikap mencari-cari.
Itulah orang malang yang menginginkan sahabat-sahabat, tetapi tak pernah dapat menjumpainya.

Syarat pokok memperoleh seorang sahabat adalah, bahwa kita mengehendaki sesuatu diluar sahabat-sahabat itu sendiri. Kita kebanyakan mengetahui kebutuhan kita untuk dicintai. Dan kita mencari cinta yang kita butuhkan itu dari orang lain. Tetapi paradox itu tetap berlaku: "Jika kita mencari cinta yang kita butuhkan, maka tak pernah akan kita memperolehnya" .

Memang cinta dapat memecahkan kesulitan-kesulitan kita, tetapi kita harus mengerti, bahwa untuk dicintai, kita harus menjadi seorang yang patut dicintai. Kalau seseorang bertujuan hidup mencari kepentingan diri, kalau ia mencari cinta hanya karena membutuhkannya, bagaimanapun halusnya tanggapan kita mengenai dia, dialah seorang egois. Ia tidak patut dicintai, walaupun ia perlu akan rasa belas kasihan kita. Selama dia memusatkan perhatian pada dirinya, kemampuannya mencintai tetap terhambat dan ia tetap seperti anak yang belum dewasa.

Sebaliknya, apabila seorang tidak berusaha supaya dicintai melainkan ingin mencintai, ia akan menjadi seorang yang patut dicintai dan pada akhirnya ia akan dicintai juga. Inilah hokum yang tak terubahkan. Selama perhatian terpusat pada diri sendiri, orang tidak pernah dapat menghindari kesepian, melainkan membuatnya lebih mendalam lagi. Inilah sebuah lingkaran setan: makin kita terdorong oleh rasa kesepian untuk dicinta, makin parah kesepian kita ini.

Satu-satunya obat ialah : berhenti mementingkan diri dan mulai
mementingkan orang lain. Tetapi jangan kira ini mudah! Memindahkan pusat pemikiran dari diri sendiri kepada orang-orang lain, sungguh merupakan usaha yang makan waktu seumur hidup. Makin sulit lagi, karena kini kita harus mendahulukan orang-orang lain dan bukannya kita sendiri. Kita harus belajar menanggapi kebutuhan orang lain, dan jangan mengutamakan kebutuhan sendiri.

Kesulitannya ialah, bahwa kita semua terlekat pada kepentingan sendiri.
Kita terlalu sibuk mencari perkembangan bakat-bakat dan kepribadian kita sendiri, dengan kebahagiaan dan cita-cita kita sendiri. Kita dapat
bersifat egois dengan cara yang sedemikian halusnya, sehingga hampir tidak kentara.

Memusatkan perhatian dan usaha pada diri sendiri adalah suatu penghalang mutlak untuk kebahagiaan dan kepuasaan manusia yang sejati, yang hanya mungkin tercapai melalui cinta yang tulus. Kita masing-masing harus memutuskan bagaimana kita akan menghayati hidup ini.
Jika kita putuskan, mencari kebahagiaan dan kesepian yang akan kita umpai!
Jika kita putuskan, mencari kebahagiaan serta kemajuan dan perkembangan orang lain, dan inilah cinta kasih, maka pastilah kita akan memperoleh kebahagiaan dan kepuasaan.

Cinta berarti mempedulikan, menerima dan memperhatikan orang-orang lain yang dicintai itu. Ini berarti pula memberikan diri, meskpun kadang-kadang meminta banyak pengorbanan.
Kita dapat mencintai orang lain hanya sejauh mereka menjadi pusat pemkiran, hati dan hidup kita. Kita hanya dapat menemukan diri dengan jalan melupakan diri. Kita harus sedia kehilangan hidup dan kepentingan kita, sebelum kita dapat memperolehnya dalam arti yang lebih mendalam.

Cinta yang berarti pengorbanan diri ini memang sulit. Pertama-tama karena kesukaran-kesukaran batin yang terdapat pada setiap orang, yaitu luka dan cacat warisan pengalaman setiap manusia, dan kedua,
karena persaingan dan teladan dunia yang serba mencari keuntungan sendiri.
Cinta paling sedikit berarti pengorbanan seperti berikut: orientasi
pemikiran, perhatian dan keinginan harus beralih kepada orang lain dan
harus menanggalkan diri serta kepentingan sendiri.

Akan tetapi betapapun sulitnya, kehidupan dengan cinta, tidaklah sia-sia dan bukan tanpa imbalan. Bahkan sebenarnya hidup demikianlah yang sungguh-sungguh manusiawi dan bahagia, karena penuh dengan kecemasan yang sama mendalam seperti kehidupan, sama luasnya seperti seluruh dunia dan jangkauannya sampai ke akhirat.

Baru setelah kita mengatakan: "YA", untuk mencinta dan: "YA", untuk melupakan diri, maka kita akan merasakan bahwa kehidupan kita mengetahuinya dan penuh rahasia bagaikan rahmat ALLAH; tetapi kita akan mengenalnya dan akan tampak kepada dunia bahwa kita telah
mendapatnya.
Kita telah mengalami suatu perubahan radikal : pusat perhatian
pindah dari diri sendiri kepada perhatian terhadap orang lain. Jadi, orang
yang patut dicintai adalah orang yang mencintai.

Tetapi bagaimana kita dapat mencintai, kalau kita belum pernah dicintai?
Antara hitam dan putih selalu ada warna abu-abu, yang kehitam-hitaman atau keputih-putihan. Kita semua mempunyai kemampuan untuk mencintai, sedikit ataupun banyak, mempunyai kemampuan untuk memindahkan pusat perhatian dari diri kita sendiri kepada kebutuhan, kebahagiaan serta kepentingan orang lain. Sejauh kita dapat berbuat demikian, sejauh itu pula kita mencintai.

Mungkin mula-mula kita hanya dapat mencintai sedikit sekali, maka sedikit pula kita dicintai. Tetapi sejumput cinta yang kita terima akan memberikan daya untuk tumbuh dan berkembang menurut bimbingan cinta. Maka inilah tantangan apapun, kecil ataupun besar, untuk mencintai.
Makin besar usaha dan dedikasi kita, makin besar dorongan dan kekuatan hasil cinta akan kita terima. Tetapi pusat perhatian selalu bukanlah kita sendiri dan bukanlah apa yang akan diberikan kepada kita sebagai imbalan atau balas jasa. Dengan bertanya, "Apa yang telah kau perbuat bagiku?" , cinta kita mulai mati.

21 February 2008

Hidup Rapuh Ini Kau Kehendaki



Hidup rapuh ini Kau kehendaki.

Kau tinggikan daku atas tiada

Biar kini daku bersyukur Tuhan

Merasa tenteram di keraguan

Melesat dari hidup hanya rindu

Biar daku jatuh dalam tangan-Mu

(lagu syukur alm Surya Suyata OSC,BBB 117)



“Itu lagu syukur yang sangat dalam maknanya buat saya” ujar Romo Tejo pada acara syukuran atas tahbisannya di aula St Arnoldus, Minggu, 3 Febuari 2007.


Bonifasius Haryo Tejo Bawono yang kini akrab dipanggil MOJO (Romo Tejo) adalah Putra St Arnoldus –Bekasi yang telah ditahbiskan menjadi Imam Ordo Salib Suci (OSC) oleh Mgr J Soenarko SJ, Uskup Purwokerto di Gereja Bumi Patra Indramayu, 22 Januari 2008. Selanjutnya Romo Tejo akan ditugaskan di Serpong, Tangerang.


Merupakan kebanggaan tersendiri bagi keluarga Bapak Petrus (alm) dan Ibu Tukirah atas tahbisan putra ketiga dari tiga bersaudara ini. Ibu Tukirah Petrus adalah sosok ibu sederhana yang memiliki kehidupan luar biasa. Lewat tangan-tangannya, banyak dihasilkan makanan untuk jadi salah satu sumber energi para Romo dalam aktifitasnya.


Romo Tejo yang lahir pada tanggal 14 Mei 1979 ini bertutur di khotbah perdananya “Lima belas tahun yang lalu,di pohon rindang di halaman gereja bersama seorang teman berbincang tentang panggilan hidup membiara. Dan ternyata teman saya yang bernama Eddy (bukan nama sebenarnya) juga memiliki panggilan yang sama. Eddy tidak berani menyatakan keinginannya, sehingga saya berbaik hati untuk menemaninya berbicara kepada orang tuanya.Penasaran jawaban ibunya saat kami sampaikan keinginan kami? Begini katanya, Kamu terlalu ganteng untuk menjadi seorang Romo, tapi kalo Tejo sih tidak apa-apa” ujar Romo Tejo sembari tersenyum. Senyuman yang cukup banyak menggelitik hati umat yang mendengarnya. Sejenak suasana misa menjadi hangat. Hangat yang mengantarkan banyak makna. “Apakah ganteng adalah sebuah halangan untuk menjadi kebahagiaan sang anak jika memang dia merasa “terpanggil”. Terpanggil untuk hidup selibat?”


Lagi kata Romo Tejo, “Ikuti saja kata hati! Hati membawamu kepada kebahagiaan!Hati yang tulus, hati yang sederhana!”


“Memang banyak batu sandungan dan kerikil saat kita mengikuti kata hati. Tapi HATI memang harus selalu dijaga dan dipelihara!Panggilan ini saya ingin jalani dengan hati yang sederhana saja.”


Romo Agus Rahmat Widiyanto, dan teman-teman Romo dari OSC juga ikut hadir memberi banyak kekuatan dan menularkan banyak berkat di Misa Perdana Romo Tejo, siang itu.


“Banyak Pastur yang pintar khotbah. Banyak Pastur yang hebat tapi Pastur yang tulus itu tidak ada, maka saya mau doakan Romo Tejo jadi Pastur yang TULUS dan KUDUS!” ujar Romo Ansel selaku kepala paroki St Arnoldus dalam misa itu pula.

18 February 2008

KATA-KATA


Jika kata-kata menjadi tanpa makna
mungkin bahasa-bahasa lain dapat menggantinya
(itu kata-katamu dulu saat kau memilih bahasa gambar utk mewakilinya)



Tapi apakah KATA-KATA harus selalu bermakna?
Jika kadang hanya bersalutkan manis yang semu?
Apa arti kata-kata itu bagimu?
Apa yang bergaung di baliknya?
Ah...........hanya kau yang tahu
Uraikan saja sesukamu..............
Biarkan aku mendengarnya

Tapi, ..........jika tidakpun...
kurelakan angin menerbangkan kata-kata manismu
agar aku sungguh .........
dapat bersahabat..............
dengan jejaknya yang tertinggal

Tak mudah bagiku bersahabat dengan kata.
Kata yang meluncur bebas dari tuannya.
Ya, KATA-KATA
Meski aku sering memilihnya menjadi bahasaku.

Tiap kata bisa saja bermakna ambigu.
Yang membuatku tersekap dalam bisu dan ragu.
Mematikan syair rindu yang dulu merayap di hatiku.
Aku hanya ingin bertemu
tuk mengurai kata menjadi bertemu makna.
Itu saja!
Lainnya belum tahu!

Tapi bahasamu mengartikan kau tak pernah harapkan hadirku.
Atau entah apa.
Tapi kenapa kau masih setia mengirim KATA untuk jejak-jejak itu
Saat kurela angin dan hujan menghapus jejaknya.

(Cikarang, 18 Februari 2007)