29 April 2009

Bahasa Cinta Memang Menyatukan Banyak Perbedaan



”Jangan khawatir jika bahasamu tidak dapat dimengerti orang lain, karena bahasa cinta selalu dapat dimengerti”


Ramai sekali teriakan anak-anak di depan rumahku. Mereka bersorak-sorak menyemangati temannya yang sedang berjuang mencapai hadiah –hadiah puncak di lomba panjat pinang tujuh belasan RT-ku.


”Capek banget hari ini” gumamku sambil terus mengayun langkah menerobos keramaian itu. Pandanganku spontan langsung menyapu arena pertandingan panjat pinang itu. Hadiahnya banyak sekali. Tapi entahlah, rasanya aku lebih tertarik untuk segera sampai ke kamar kostku, merebahkan diri di kamarku, membayangkan segayung air dingin membasahi kepalaku...


Sayup-sayup keramaian itu mulai reda, seakan memberi kesempatan untuk istirahat soreku. Baru saja akan kupejamkan mata, tiba-tiba saja aku teringat dengan enam digit angka yang sudah sangat kuhapal 4-2-5-4-5-6-1. Pemilik nomor telepon itu adalah Griya Asih. Seperti namanya Rumah Kasih Sayang, Griya Asih adalah sebuah rumah yang tidak pernah kehabisan cinta untuk anak-anak jalanan berlokasi di daerah Cempaka Putih Jakarta Pusat. Tepatnya di Jalan Murdai 1, Cempaka Putih. Sudah sekitar dua tahun aku sering mengunjungi rumah itu, hanya untuk belajar menjadi seorang kakak dan teman buat mereka saat belajar mengerjakan PR sore hari bersama relawan-relawan lainnya.


“Ada 7 anak baru dari Nias datang. Mereka lucu-lucu dan tidak bisa berbahasa Indonesia.

Jadi, kalo kami bicara ya pake bahasa tarzan, sye, aa, uu, aa, uu he..he....” ujar Kak Sisil, pengurus Griya Asih sambil tertawa.


Aku pun terlarut dalam irama tawanya sambil membayangkan gaya mereka berkomunikasi ala tarzan.


”Mereka suka sekali dipeluk!”ujar Kak Sisil lagi menambahkan.


”Setiap hari di Nias, yang mereka lakukan adalah mencari kayu bakar, yang jaraknya bisa mencapai 12 KM dari rumah mereka, tidak ada angkutan, dan kaki mereka pun harus beradu dengan jalanan berbatu. Jika mereka sudah mendapatkan kayu bakar, barulah mereka akan mendapat makan. Makannya bukan nasi, hanya sagu atau ubi atau jagung. Tapi, jika tidak mendapat kayu bakar, maka seringkali mereka akan dipukuli.Makanya, jika kita peluk mereka dan kita sudah melepaskan pelukan kita, mereka akan balas memeluk. Untuk ukuran anak-anak usia 6-8 tahun, pelukan, perhatian memang punya arti tersendiri untuk mereka yang mungkin jarang sekali dipeluk.”


Miris sekali rasanya aku mendengar Kak Sisil bercerita. Semua ini karena aku begitu jelas merasakan perbedaan kehidupan yang begitu jelas. Baru saja aku pulang dari Jakarta, dari sebuah acara yang kental sekali menampilkan kehidupan metropolis orang-orang kelas atas yang kehidupannya bertolak belakang dengan kehidupan anak-anak itu J


”Lucunya lagi, waktu malam sye, mereka senang sekali waktu ditunjukkin kamar mereka nanti, mereka senang sekali bisa tidur di atas kasur, dengan seprei bersih. Mereka loncat-loncat kegirangan, he.he.... Di kampung, mereka tidur di lantai dengan alas tikar saja. Cukup terkejut lagi, waktu aku suruh mereka tidur, tahu gak mereka jawab apa?


”Gak. Emang apa Kak?” tanyaku penasaran

”Kan, belum gelap Kak. Di kampung kalau belum gelap ya belum boleh tidur!”


Aku tersenyum dan sontak hatiku merasakan seseuatu. Ini hari kemerdekaan Republik Indonesia. Tapi, ternyata suka cita dan teriakan kebahagiaan itu belum milik semua rakyat Indonesia.


Tapi inilah Indonesia, tanah airku tercinta, tapi atas dasar keadaan ini, kita pun tidak bisa hanya diam, menggerutu dan menyalahkan pemerintah. Bangun, bangkit dan berbuat seseuatu untuk mereka itu jauh lebih berarti. Sekecil apapun itu sangat berarti untuk mereka.


(Kost Bunga Harapan, 17-08-08)